Kontroversi Tumpeng: Antara Tradisi, Simbol, dan Tafsir
Tumpeng merupakan sajian tradisional khas Nusantara yang selama bertahun-tahun menjadi ikon dalam berbagai acara penting, mulai dari selamatan, syukuran, hingga ritual adat dan keagamaan. Bentuknya yang kerucut, dilengkapi beragam lauk pauk yang melingkar di sekelilingnya, selalu menghadirkan kesan sakral, kebersamaan, dan harapan baik.
Namun, di balik popularitasnya, tumpeng juga tak luput dari kontroversi. Perdebatan muncul di kalangan masyarakat dan pemerhati budaya mengenai makna, tafsir, bahkan praktik penyajian tumpeng—apakah benar syariat, bid’ah, atau sekadar warisan budaya belaka.
Asal Usul dan Makna Simbolik
Secara tradisional, bentuk kerucut tumpeng melambangkan gunung yang dianggap suci dalam kepercayaan masyarakat Jawa kuno. Gunung menjadi simbol kehidupan, kemakmuran, dan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Dalam beberapa ritual, puncak tumpeng kerap diartikan sebagai tempat menghadap kepada Yang Maha Kuasa, sedangkan lauk pauk di sekitarnya menggambarkan kemakmuran dan berkah.
Kontroversi di Tengah Modernitas
Seiring perkembangan zaman, muncul pertanyaan: bolehkah tradisi tumpeng dilaksanakan dalam acara keagamaan? Ada yang menilai tumpeng membawa unsur mistik dan animisme, sehingga dianggap bertentangan dengan ajaran tertentu. Sebaliknya, banyak kalangan memandang tumpeng hanya sebagai simbol doa dan syukur, bukan sarana pemujaan serta bebas dari unsur ritual sesat. Bahkan, di banyak komunitas Muslim, tumpeng tetap dihidangkan dalam syukuran sebagai pelambang kebersamaan tanpa menyisipkan makna animisme.
Tafsir, Adaptasi, dan Dinamika Sosial
Perdebatan seputar tumpeng sebenarnya mengajak masyarakat untuk bijak menafsirkan simbol budaya. Tafsir boleh berbeda, namun nilai utama tumpeng adalah memperkuat rasa persaudaraan, kebersamaan, dan syukur atas nikmat hidup. Adaptasi pun dilakukan di banyak daerah, di mana penyajian tumpeng disesuaikan dengan nilai keislaman, bahkan dilengkapi doa bersama atau dzikir sebelum menyantapnya.
Kesimpulan
Tumpeng kadang jadi kontroversi bukan karena bentuk atau isinya, namun karena tafsir dan pemahamannya. Setiap simbol tidak bisa berdiri sendiri tanpa konteks sejarah dan niat para pelaku tradisi. Selama tradisi tumpeng dilaksanakan sebagai wujud syukur dan kebersamaan, tanpa niat bertentangan dengan ajaran keyakinan, tumpeng tetap dapat menjadi warisan budaya yang harmonis dengan perkembangan spiritual masyarakat.
Jadi, tumpeng bukan sekadar makanan—ia adalah simbol, sejarah, dan perwujudan harapan yang mengundang kita merenung dan memperkuat makna kebersamaan dalam kehidupan.